Pesan R.A Kartini Untuk Pelajar Indonesia (refleksi hari Kartini , 21 April)

04.32 Unknown 0 Comments


 ‘’ Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat  umat agama lain memandang agama Islam patut disukai ‘’  (surat kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
     Itulah suara multikulturalisme yang lahir dari sosok R.A Kartini. Pejuang bangsa yang harum dalam bingkai sejarah bangsa Indonesia. Setiap 21 April kita memperingatinya sebagai Hari Kartini. Dengan jasa besarnya, ia telah menginspirasi banyak perempuan di Indonesia berfikir cerdas dalam upaya memperbaiki kualitas diri untuk meraih prestasi. Maka tidak heran, untuk memperingatinya, digelarlah aneka event bertemakan Kartini di berbagai daerah di Indonesia pada setiap bulan April.
       Namun sebagai bangsa yang besar, terkadang kita kurang memahami substansi dari setiap peringatan Hari Kartini tersebut. Hal ini berdasar pada kurang adanya pemahaman yang mendalam akan nilai-nilai perjuangan dari sosok yang pernah nyantri pada ulama’ kharismatik Kyai Sholeh Darat (Jawa tengah) tersebut. Lantas, bagaimanakah keteladanan yang bisa kita ambil dari sosok yang lahir pada 21 April 1987 di Jepara tersebut, terutama dalam dunia pendidikan kita ?
Budaya Literasi
      Inspirasi dari R.A Kartini adalah budaya literasi yang tinggi. Budaya literasi yang ditafsirkan dengan kemampuan membaca, mengonstruksi, memahami dan kemudian menuliskan kembali teks-teks budaya yang dibaca, telah meneguhkan R.A Kartini sebagai inspirator yang mengenalkan dan mengedukasi bangsa ini lewat surat-surat yang dikirimnya kepada teman korespondensinya di Belanda. Rosa Abendanon salah satunya. Sosok inilah yang juga mengenalkan Kartini pada kemajuan perempuan Eropa. Dari Abendanon jugalah Kartini mengenal buku-buku seperti De Stille Kraacht  oleh Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta Von Suttner. Persahabatan keduanya melahirkan Door Duisternis tot Licht yang bermakna “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” yang terbit pada tahun 1911,
       Menulis surat adalah wadah penuangan ide kreatif dan penghilang kegundahannya. Salah satu contohnya adalah ketika ia merasa kurang memahami pengetahuan agama tanpa adanya pengajaran yang benar dari orang-orang terdekatnya. Ia menulis ‘’ bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya. Al Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang di sini belajar membaca Al Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak mengerti apa yang dibacanya’’ (surat kepada Stella, 6 Nopember 1899)
      Kecerdasannya yang luar biasa dalam menggali, mengakomodasi, memahami, mengolah dan mengkonversikan problematika sosial menjadi sebuah tulisan layak untuk diteladani oleh oleh generasi muda sebagai calon penerus perjuangan bangsa. Namun budaya literasi ini masih jauh panggang dari api. Kita sangat miris ketika mendapati hasil temuan yang menempatkan Indonesia pada rangking ke-60 dari 61 negara dalam kajian pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the world. Sebagaimana dipaparkan Rahma Sugihartati, rendahnya tingkat literasi masyarakat dipengaruhi oleh dua hal yaitu kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai ‘’infotainment’’ daripada informasi yang dapat meningkatkan literasi dan kurangnya bacaan yang menarik minat masyarakat selain karena faktor lingkungan yang tidak mendukung (Jawa Pos, 14 April 2016)
      Dalam berbagai hal, budaya membaca, sebagai salah satu instrumen literasi bukanlah hal yang menyenangkan bagi kalangan pelajar pada saat ini.  ini bisa  dipahami, dunia pendidikan kita belum mampu menghadirkan dan merevolusi budaya membaca menjadi aktifitas yang bernilai tinggi bagi bagi pelajar. Bahkan budaya ini mulai tergeser oleh aktifitas game. 
    Aktifitas gaming sebenarnya tidak menjadi permasalahan asalkan dilakukan pada waktu yang tepat dan tidak mengganggu belajar seorang siswa. Penulis sering mendapat pengaduan tentang perilaku sebagian besar siswa kita yang terjebak dalam rutinitas bermain game secara berlebihan. Hal ini jelas menjadi budaya yang patut kita ubah dengan perlahan. Termasuk bagi orang tua dapat berperan bijak dalam menyediakan layanan permainan ini. jika tidak, generasi bangsa ini akan mengalami kejumudan berfikir dan malas dalam berperilaku yang lebih produktif. Parahnya, kita terhenyak manakala Kemendikbud (13/4) merilis 15 game berbahaya karena mengandung unsur kekerasan ( jawa Pos, 14/4/ 2016)

Pendidikan multikulturalisme
         Selain budaya literasi, peninggalan besar R.A Kartini adalah gagasan mutikulturalisme. Catatan surat pada awal paragraph pembuka di atas adalah bukti nyata bahwa R.A Kartini adalah pelaku sejarah yang menjunjung tinggi sikap keterbukaan dan cenderung menghindari sikap eksklusivisme dalam beragama dengan berlebihan. Suratnya yang lain berbunyi ‘’…orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik, orang-orang baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi pula, dialah orang Eropa (surat kepada Stella, 25 Mei 1899) dan ‘’ aku mau meneruskan pendidikan ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih’’ ( surat kepada Ny. Ovienksoer, 1900)
    Jika mencermati perihal ini, sikap ektrimisme jelas tidak tampak pada diri R.A Kartini. Kita sebagai pelajar patut meneladaninya. Mengingat budaya ekstrimisme yang melahirkan gerakan teror sudaha menjamur bak cendawan di musim hujan pada saat ini. indikasinya, indeks kerentanan radikalisme di Indonesia masih di level 43,6 atau masih di titik rawan. Yaitu, pada level 33,3 dari skala 0 (anti radikalime sempurna) dan 100 ( pro-radikalisme sempurna). Bahkan, Indonesia bersama Filipina sudah mendapat sebutan sebagai the fore front of Al Qaeda in the Southeast Asia (Tamam : 2015 )
       Kedua peninggalan itulah yang sering dilupakan oleh dunia keterpelajaran kita. Oleh karena itu, marilah kita bangun kembali pemikiran-pemikiran R.A Kartini untuk mewujudkan iklim berprestasi di lingkungan sekolah kita untuk membentuk Kartini-kartini baru untuk bangsa ini. Sudah siapkah kita ?

You Might Also Like

0 komentar: