Berantas radikalime pelajar ala IPNU-IPPNU
Teror
Thamrin yang meletup 14 Januari lalu belum usai. Setidaknya gambaran itu yang
bisa kita amati pada media akhir-akhir ini. Terbaru, Densus 88 Anti-teror
menangkap lima terduga teroris di Malang, Jawa Timur, Jum’at (19/2). Kelimanya
diduga anggota kelompok Jamaah Anshor Khilafah Nusantara (JAKN) yang dikomandoi
Amman Abdurrahman. Jaringan ini diduga kuat memiliki hubungan dengan teror di
kawasan Thamrin yang menewaskan delapan
orang, termasuk empat pelaku tersebut ( Jawa Pos edisi Minggu, 21 Februari
2016 )
Gerakan
terorisme semakin menggejala karena kedangkalan pola berfikir dalam agama yang
berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial / tatanan politis
yang ada dengan menggemakan kekerasan (Jaka Sutapa:2004:1). Gerakan ini adalah
bentuk ketidakmampuan seseorang dalam memahami pemahaman keagamaan secara
universal. Sikap keagamaan tidak dipandang lagi sebagai aktualiasasi nilai
kemasyarakatan yang digariskan oleh pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara
RI
Keberadaan
mata rantai teroris yang menjamur tersebut harus diputus sampai akarnya. Jawa
Pos edisi Senin, 21 Februari 2016 memberitakan Staf khusus Badan Nasional
Penanggulangan Teror (BNPT), Wawan Hari Purwanto menjelaskan Indonesia perlu
cara lebih besar untuk menghentikan terorisme yakni menghentikan aksi terorisme
tepat di sumber penyakitnya. Yakni konflik Timur
Tengah. Hal ini terjadi karena ideologi terorisme berakar dari konflik
horizontal dengan berbagai kepentingan di sana. Beberapa waktu dekat mendantang, Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) memiliki agenda mengajak ulama’ berpengaruh dari
70 negara untuk membahas dan berupaya penuh mewujudkan perdamaian untuk bersama di Timteng.
Langkah
strategis PBNU tersebut layak untuk diapresiasi. Sebagai organisasi keagamaan
dan kemasyarakatan ( Jam’iyyah Diniyyah wa ijtima’iyyah ) yang diikuti
hampir sebagian besar bangsa Indonesia tentu mendapatkan peran tersendiri dalam
mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga integritas dan sikap nasionalisme yang utuh dan pada akhirnya akan menghilangkan sikap fanatik pada aliran dan pemahaman tertentu yang cerderung ekstrim dan terbujuk rayu oleh
hasutan pelaku teror itu sendiri.
Dan
sebagai badan otonom yang mewadahi kalangan pelajar Islam, maka kehadiran
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul
Ulama’ (IPPNU) mutlak dibutuhkan dalam wacana anti radiklisme ini. Bagaimanapun pelajar adalah tunas masa depan yang mendapat peran besar dari pembangunan bangsa. Dari tunas itulah akan lahir tokoh-tokoh besar
penerus bangsa. Peran strategis inilah yang harus mampu digarap oleh IPNU-IPPNU
untuk mengkader generasi muda menjadi pribadi berjiawa nasionalisme yang kokoh. Momentum
ini juga menjadi adalah tantangan besar bagi lembaga otonom NU ini. Bagaimana tantangan IPNU-IPPNU
dalam menghadapi kondisi dunia keterpelajaran sekarang yang serba pragmatis ini
? bagaimana pula strategi yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan pemberantasan
isu radikalisme di Indonesia ?
Faktor historis
IPNU-IPPNU
adalah garis pertama dalam proses pengkaderan di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU).
Sejarah berdirinya IPNU bermula ketika munculnya
berbagai organisasi keterpelajaran dalam lingkungan NU seperti PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama), IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama), PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel
Oelama) dan lain-lain. Namun
organisasi-organisasi di atas masih bersifat kedaerahan dan berjuang sendiri-sendiri dan tidak pernah menyatukan visi secara kolektif.
Bertitik tolak
dari kenyataan tersebut, maka Almarhum Tholhah Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang),
H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut
dalam satu wadah, satu nama dan satu faham dengan nama IPNU (Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama) saat berlangsung kongres LP Ma’arif di Semarang pada tanggal
24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 Hijriyah.
Pada perkembangan
selanjutnya IPNU berubah nama menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama saat kongres
ke X di Jombang disebabkan organisasi pelajar yang diakui pemerintah hanya OSIS
sebagai organisasi intra sekolah dan Pramuka sebagai organisasi ekstra sekolah.
Sehingga bidang garapan IPNU tidak hanya pelajar dan santri saja, tetapi juga
pemuda, remaja dan mahasiswa. Dan
pada akhirnya kongres XIV tanggal 18 – 24 Juni 2003 di
Surabaya IPNU sepakat untuk kembali ke nama awal yaitu Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dengan
orientasi pelajar, santri dan mahasiswa.
Sedangkan kelahiran IPPNU dimulai saat wacana perlu
adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat pada kalangan NU, terutama
muslimat NU, fatayat, GP Ansor NU, IPNU dan
banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU puteri pada kongres I IPNU
pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955 di Malang Jawa Timur. Setelah melalui
perundingan yang cukup menyita waktu, pada hari kedua kongres, beberapa peserta
puteri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang,
Lumajang, dan Kediri) terus melakukan lobying dengan berbagai tokoh dari banom NU
lainnya seperti KH. Syukri Ghozali (PB. Ma’arif) dan Ny.Hj. Mahmudah Mawardi (PP. Muslimat) sehingga melahirkan badan IPPNU dan Tanggal 2 maret
1955 M/8 Rojab 1374 H ditetapkan
sebagai hari kelahirannya secara resmi. .
Mengemakan kampenye anti-radikalisme
Kampanye
anti-radikalisme dipandang akan efektif jika diselenggarakan dengan
mengintegrasikan tiga basis kampanye sebagai berikut. Pertama, kampanye
berbasis kultur lembaga pendidikan. pembentukan karakter kebangsaan merupakan
suatu keharusan bagi para pengelola pendidikan dan pemangku kebijakan
(stakeholder) yang terkait didalamnya. Hal tersebut dapat menjadi celah
terbesar IPNU-IPPNU untuk mengkampanyekan gerakan anti-radikalisme pelajar
yang diusungnya. Hal ini sangatlah beralasan mengingat IPNU-IPPNU memiliki perwakilan
pada tiap-tiap sekolah dan pesantren berupa komisariat. Banyak kegiatan yang
bisa dilakukan untuk mendukung gerakan ini asalkan dikemas dengan fresh
dan khas untuk alam pemikiran siswa.
Kedua, kampanye berbasis media online. Tidak dipungkiri, media internet
adalah wadah kreatif dan produktif untuk berbagai hal. Hal ini terjadi karena
pengguna (user) terus bertambah secara fantastis dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta user hingga awal tahun
lalu. Sedangkan jumlah pengguna sosial media twitter sebanyak 50 juta user dan Facebook sebanyak 69 juta user. Sebuah lahan fantastis
untuk menggerakkan sebuah kampanye ke ranah public yang begitu dinamis.
Ketiga, kampanye berbasis komunitas.
Pada tahapan ini dapat sinergitas pola internal dan eksternal mutlak
dibutuhkan. Pada ranah internal, IPNU-IPPNU yang beranggotakan ribuan pelajar
baik dari kalangan siswa maupun santri memiliki basis penguatan ideologi yang
lumayan besar asalkan mampu digarap dengan praktis dan sistematis. Sedangkan pada
ranah eksternal, IPNU-IPPNU dapat menggandeng berbagai pihak termasuk intansi
pemerintah, media, TNI-Polri untuk mengedukasi wawasan kebangsaan dan
nasionalisme kepada komunitas keterpelajaran yang ada.
Peran
IPNU-IPPNU yang bergerak aktif dalam bidang pengkaderan pelajar memiliki posisi
strategis yang layak untuk mewujudkan gerakan kampanye anti-radikalisme ini. Dukungan
berbagai pihak terutama NU sendiri sebagai induk dan banom-banom lainnya serta
berbagai elemen masyarakat mutlak dibutuhkan. Sudah saatnya ini menggaungkan dan mengobarkan fighting spirit yang
membara untuk melawan radikalisme pelajar. Semoga bisa dan tetap bisa untuk
terus belajar, berjuang dan bertaqwa…. Dirgahayu IPNU ke-61 (24 Februari) dan
IPPNU ke-60 (2 Maret), ganbatte,..!
0 komentar:
Posting Komentar